Thursday, December 20, 2018

Melihat Situs-Situs Sejarah Singkil

 



Butuh waktu hampir sejam menelusuri sungai besar Singkel menggunakan sampan robin untuk sampai tiba ke kawasan situs bersejarah-Singkil Lama. Sungai Singkil yang berukuran besar ini, terhubung hingga sampai ke Aceh Tenggara, karena itu dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama sungai Lae Alas.

Saya bersama dua warga lokal, menempuh perjalanan tersebut untuk tiba ke kawasan Singkil Lama, warga lokal menyebut dengan kawasan Berok. Setelah melewati sungai besar, sampan bergerak ke arah kanan, melewati anak sungai berukuruan empat hingga lima meter lebarnya. Kiri dan kanan mulai dipenuhi pohon lontar (Aceh : nipah). Tak hanya nipah, sekali-kali tampak beberapa ekor anak buaya yang dikenal hewan predator berjemur di pinggir sungai ini. Menurut informasi tekong sampan ini, induknya kadang tampak berukuran hampir enam meter panjangnya.

Sampan kami terus menderu melaju ke arah tujuan Singkil Lama. Singkil Lama adalah kawasan pemukiman yang diyakini sebagai kawasan awal dari Kota Singkil, dan telah ada sejak abad ke-12 M seterusnya berkembang pesat pada masa kolonial Belanda abad ke-17 M, lalu tenggelam akibat bencana alam hingga Kota Singkil harus dipindahkan ke lokasi sekarang. Karena itu, Belanda menyebut Kota Singkil sekarang dengan istilah Neuew Singkel (Singkil baru).

Tidak lama setelah melewati anak sungai, sampan robin kini memasuki lorong sungai yang lebih sempit berukuran dua meter, menyerupai gua karena ditutupi oleh rimba nipah. Dengungan dan serbuan nyamuk mulai terasa. Mesin robin sudah tak bisa dihidupkan akibat dangkalnya aliran ini, aroma pekat lumpur payau menyengat. Perlahan tekong mendayung dan sekali-kali bergelayut ke setiap cabang pelepah nipah menarik sampannya untuk sampai ke tujuan yang berjarak hampir 1 KM sejak mesin dimatikan.

Tiba di tujuan, dengan dikelilingi nipah dan daratan lumpur payau hitam pekat yang menghampar menuju ke semak-semak daratan, kami harus turun. Baru saja saya mencemplungkan kaki, langsung ditelan lumpur hingga selutut. Saya mengikuti saja perjalanan kaki yang harus bertarung dengan lumpur payau, sekali-kali harus menaiki batang kayu mati yang terendam lumpur sesuai arahan tekong sampan. Baru kemudian, setelah mendapatkan daratan tanah yang agak keras, kaki mulai mudah dan lempang berjalan. Tak jauh dari sini, sebuah sumur yang baru digali oleh masyarakat tampak di hadapan kami, saya lihat tekong sampan buru-buru membersihkan dirinya dari kotoran lumpur yang mengotor celananya hingga lutut.

Saya mengikuti saja perilakunya. Serbuan nyamuk belum berhenti, dengungan hewat kecil namun amat mengganggu kenyamanan telinga ini, terus mengikuti kami hingga tiba di sebuah makam lama. Makam itu telah ditutupi kelambu, saya lihat tekong duduk bersila di sisi makam lalu berdoa. Saya coba melihat lebih detail kondisi makam, tampak dua nisan besar bertuliskan aksara kaligrafi Arab, segera saya ambil gambar dengan kamera ponsel. Di luar makam, ada beberapa nisan lagi yang berukir nisan lama mengelilingi saung pemakaman ini. Lokasi makam ini, disebut oleh tekong masih dalam kawasan Singkil lama. Situs seperti ini banyak menurutnya, terutama di kawasan sepanjang aliran sungai, mengingat dulunya peradaban Singkil yang berdekatan dengan Barus adalah peradaban sungai dan laut.

Setelah saya amati, tulisan kaligrafi di makam bertuliskan “…almarhum Abdurrahib (Rajab) bin Abdullah, berpulang pada 3 Zulqaidah 1313 H.” (16 April 1896 M). Besar dugaan, pemiliki makam adalah penganut tarekat Syattariah dan seorang guru agama Islam di sana. Ada banyak makam seperti ini di Singkil. Namun, minim pengkajian dan pemugaran. Akibatnya, beberapa situs sejarah Singkil yang amat penting untuk masa depan pengetahuan sejarah Islam Nusantara justru tak mendapat perhatian. Padahal, kawasan ini memainkan peranan penting dalam pentas sejarah Islam Nusantara. Bahkan, dua tokoh besar Islam Nusantara (Hamzah Fansuri dan Abdurrauf as Singkili) berasal dari sini. Kondisi berbeda dengan Barus, sebagai kawasan yang berdampingan dengan Singkil justru penyelamatan makam dilakukan oleh masyarakat.

Komitmen membangun wisata sejarah Singkil tidak hanya makam-makam bercorak Islam, peninggalan Belanda yang masih dengan mudah dan banyak ditemukan di Singkil justru terbengkalai tanpa perhatian dan pemugaran bahkan mendapat klaim sebagai situs cagar budaya. Kuburan Belanda di Singkil misalnya yang kondisinya amat memprihatinkan kini terancam rusak di kawasan Pulo Sarok. Situs sumur bor era Belanda yang terus mengalir juga tak mendapat perhatian pemugaran sebagai cagar budaya dan beberapa situs lainnya. Artinya, perhatian pemerintah setempat terhadap situs sejarah dan budaya masih sangat lemah. Padahal, jika situs ini dipugar dan dilakukan konservasi serta pemugaran, akan dapat menjadi objek wisata sejarah tersendiri di Singkil, yang akan membantu pengembangan Singkil ke depan sebagai tujuan wisata. Butuh kerja ekstra untuk mengembalikan sisa peradaban Singkil, terutama kerja menyadarkan masyarakat betapa situs sejarah itu penting sebagai identitas dan peluang menjadi kota peduli wisata sejarah.

Wisata sejarah Singkil adalah peluang besar kabupaten ini memproklamirkan diri kota peduli sejarah dan budaya, karena memang memiliki modal yang cukup. Kerja-kerja pemetaan dan penggalian situs untuk tahap menjadi cagar budaya harus ditempuh oleh pemerintah setempat. Saya membayangkan, satu dekade ke depan, jika seperempat energi disuplai ke industri sejarah budaya, Singkil akan menjadi kota penting di perbatasan Aceh, terutama tujuan pengkajian studi sejarah Islam, studi sejarah kolonial, dan kunjungan pelancong lokal melihat lebih dalam kota yang pernah maju peradaban Islam dan pengaruh kolonial ini. Paling tidak, alasan pelancong ke Singkil dua, berwisata bahari Pulau Banyak, dan mengunjungi museum dan jejak Islam Nusantara di sana.

sumber jeumpanews.com

No comments:
Write comments