Sunday, October 14, 2018

Bahasa Singkil (Mago) Hampir Punah

 

Bahasa Singkil Terancam Punah “Mago”

Jaminuddin Djalal, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Fakultas Hukum dan Syariah ketua Komunitas Ogek Uti Membangun Singkil

Seperti yang kita ketahui bersama, bahasamerupakan suatu keahlian yang apabila bahasa tersebut sering digunakan oleh penuturnya dalam hal apapun, seperti misalnya berbicara, menulis, dan lain sebagainya, maka sudah pasti seseorang itu akan lebih mahir menggunakannya, sebab dalam kesehariannya sudah menjadi kebiasaan tertentu.

Akan tetapi jika bahasa tersebut sangat jarang digunakan atau dituturkan, sudah pasti akan menjadi mala petaka yang amat dahsyat, satu per satu kosa kata dari penggalan bahasa tersebut akan hilang. Lebih lanjut dalam bahasa Singkil disebut Mago.

Hal tersebut jugalah yang penulis lihat selama ini, khusunya pengguna bahasa Singkil yang sudah terlihat masif. Penulis melihat fenomena ini telah menjalar di tanoh Singkil. Hal ini dibuktikan dengan kosa kata-kosa kata bahasa Singkil yang jarang dan bahkan tidak pernah kita dengar lagi dan bahkan lebih parah lagi, yaitu kosa kata diganti dengan bahasa Indonesia.

Mago tuhu “benar-benar punah”. Padahal bahasa menunjukkan suatu identitas, dan ianya amat sangat penting untuk terus dijaga dan dilestarikan. Ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya bahasa Singkil menurut penulis sendiri, yang jika hal ini terus-terusan dibiarkan maka bahasa Singkil akan benar-benar mago.

Namun jika hal ini kita cermati, pelajari, serta kita cegah secara bersama, penulis sangat yakin bahasa Singkil akan tetap eksis seiring perkembangan zaman. Berikut ini 4 hal yang menyebabkan bahasa Singkil akan mago “punah”:

1. Banyaknya orang Singkil (Singkil-Subulussalam) yang lebih memilih berbahasa Indonesia ketimbang bahasa Singkil dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemko Subulussalam tidak memuat bahasa Singkil kedalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah (SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA).
3. Orang Singkil (Singkil-Subulussalam) malu berbahasa Singkil serta sikap acuh terhadap bahasa sendiri. Oda anak pekhana bak anak menguda sambing, tapi bak pekhtua “Bukan anak muda dan mudi saja, tetapi juga orangtua”.
4. Anak-anak masyarakat Singkil dan Kota Subulussalam tidak diajarkan lagi bahasa Singkil oleh orang tua mereka. Penulis melihat fenomena ini biasanya berlaku bagi generasi 80an keatas. Hal inilah menurut penulis yang sekarang terjadi dalam kehidupan masyarakat Singkil dan Subulussalam yang mayoritas menggunakan bahasa Singkil.

Sikap acuh orang Singkil dalam menggunakan bahasa Singkil ini dikhawatirkan hilangnya bahasa Singkil itu sendiri di permukaan bumi ini. Sangat berbeda dengan orang Singkil yang membentuk komunitas di daerah Aceh Tenggara. Meski mereka sebagai minoritas disana, akan tetapi bahasa Ibu mereka tetap terpelihara, yakni dengan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan orang Singkil yang ada di pedalaman Aceh Utara tetap kental dalam berbahasa Singkil.

Orang Singkil khususnya para remaja yang menyebut dirinya “the next ogek-uti” (sebutan abang dan kakak) saat ini kerap menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Singkil itu sendiri, padahal mereka sama-sama mengerti bahasa Singkil, orang tua mereka pun berasal dari Singkil dan menggunakan bahasa Singkil. Gaul du “gaul ya”.

Penulis menemukan begitu banyak kosa-kata dalam bahasa Singkil yang telah berubah, hal ini pula telah penulis diskusikan dengan beberapa orang tua, abang, serta sahabat yang peka terhadap perubahan kosa-kata ini. Diantaranya yang berubah adalah: mbihin berubah menjadi dapukh/dapur, betik menjadi semangka, kekhbit menjadi mancis, kemesengen menjadi kebakhakhen/ kebakaran dan banyak lagi lainnya.

Seiring berjalannya waktu, penulis melihat minat orang Singkil (Singkil-Subulussalam) dalam menggunakan bahasa Singkil ini semakin berkurang dan terus berkurang. Perhatian untuk memelihara bahasa Singkil pun juga sudah sangat berkurang.Bahkan ketika ada orang yang berbicara bahasa Singkil dengan logat asli malah menjadi bahan candaan dan ditertawakan. Ai be “entahlah”. Alhasil banyak yang malu untuk memperlihatkan ke singkilannya.

Sehingga timbul lah Singkil jadi-jadian, yaitu orang yang dapat berbahasa Singkil, tapi logatnya telah diubah menjadi logat bahasa lain seperti bahasa Indonesia, sedikit agak kealay-alayan, “siapa loe”, dll. Fenomena ini akan kita temukan apabila ada orang Singkil yang lama merantau ke luar daerah, setelah pulang kampung logat berbicaranya akan berubah. Gaul su “gaul sekali”.

Hal ini juga akan terlihat pada masyarakat di perkotaan, bahkan sekarang lebih banyakmenggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Singkil. Orang tua pun tidak lagimengajarkan bahasa Singkil ini kepada anak-anak mereka sehingga anak-anak mereka akan sangat merasa asing dengan bahasa Singkil.

Apa jadinya bahasa Singkil ini ke depan, jika demikian? Lama-kelamaan bahasa Singkil hanya tinggal nama dan tidak ada yang tahu bagaimana bahasa Singkil itu sebenarnya. Tidak ada lagi Mike ko “kemana kamu”, kade “apa”, kune “kenapa”, senda “sini”, sendi “sana” yang ada hanyalah Mago “punah”.

Sebagai orang Singkil, seharusnya kita berbangga hati terhadap bahasa yang kita miliki, sebab bahasa Singkil adalah bahasa yang begitu unik. Keunikannya, meski pendatang berbahasa Singkil, kita akan dapat membedakannya dengan baik dan benar, apakah dia memang pendatang atau benar-benar orang Singkil. Indonesia memiliki keberagaman Bahasa dan budaya, dan kita mempunyai bahasa dan budaya dengan ciri khas tersendiri yang harus kita jaga.

Dan keberagaman inilah yang membuat kita terlihat semakin unik. Dalam tulisan ini, penulis hanya menyinggungmengenai bahasa Singkil, tanpa enyampingkan bahasa-bahasa lain yang ada di Aceh. Seperti bahasa Aceh sendiri, bahasa Alas, Gayo,Kluat, Devayan, Jamee dan lain sebagainya. Penulis juga menyarankan agar jangan sampai bahasa-bahasa tersebut di atas jangan sampai terancam punah. Sudah sepantasnya pemilik bahasa bertanggungjawab dalam melestarikannya.

Misalnya dalam berbahasa sehari-hari atau melekatkan bahasa tersebut kedalam ornamen-ornamen perkantoran dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bahasa itu sendiri. Penulis sangat berharap, semoga pemilik bahasa yang ada di Aceh khususnya, agar dapat menyadari betapa pentingnya menjaga bahasa daerah itu sendiri, karena dengan bahasalah kita mengetahui identitas suatu bangsa. Dengan bahasa pulalah kita dapat menjalin keakraban antar sesama.



sumber aceh.tribunnews.com/2018/10/14

No comments:
Write comments