Advertisement

Tuesday, April 14, 2020

Strategi Dakwah Rasulullah Saw Menghadapi Kafir Quraisy

 
Ilustrasi: Film "Muhammad: The Messenger of God" Majid Majidi dari Iran (Foto: themovielist)


Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kenapa kaum Quraisy Mekkah, menolak dakwah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Apa saja faktor?

Menurut Ahmad Syalabi dalam kitabnya Al-Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islamiyah Fi Ushul Al-Ushtha, faktor pertama yang menjadi pemicu ditentangnya dakwah Rasulullah saw yaitu; para pemimpin Quraisy tidak bisa menerima tentang ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw, yaitu tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat nanti.

Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Nabi Muhammad saw, berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib, karena kaum Quraisy tidak bisa membedakan antara kenabian dan kekuasaan.

Kemudian faktor lainnya, yaitu takut kehilangan mata pencaharian sebagai pemahat patung dan penjual patung. Karena hal tersebut, merupakan mata pencaharian kaum Quraisy Mekkah pada waktu itu.

Kaum Quraisy dari kalangan bangsawan tidak setuju dengan ajaran yang didakwahkan oleh Rasulullah saw, yaitu tentang kesetaraan antara hak hamba sahaya dan kaum bangsawan. Dan yang terakhir adalah kepercayaan yang sangat kuat kepada nenek moyang mereka. Faktor inilah yang menjadikan kaum Quraisy melawan, dan menentang dakwah Rasulullah saw ketika berada di Mekkah.

Kaum Quraisy dengan segala caranya, menentang dakwah Rasulullah saw ketika berada di Mekkah. Upaya pertama adalah dengan membujuk Abu Thalib, yang merupakan paman Nabi Muhammad saw yang sangat disegani, sekaligus pelindung dakwah beliau.

Pada waktu itu, kaum Quraisy menawarkan dua pilihan kepada Abu Thalib, yaitu memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menghentikan dakwahnya atau menyerahkan beliau kepada mereka untuk dibunuh.

Abu Thalib yang mendapat ancaman tersebut, memberi tahu Nabi Muhammad saw untuk menghentikan dakwahnya. Akan tetapi Nabi Muhammad saw menjawabnya demikian:

“Demi Allah, saya tidak berhenti memperjuangkan amanat allah ini. Walaupun seluruh anggota keluarga dan sauadara saya akan mengucilkan saya.”

Mendengar jawaban dari keponakannya tersebut, Abu Thalib merasa terharu, dan kemudian berkata; “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu.”


Karena langkah awal yang digunakan merasa gagal, kaum Quraisy kemudian menggunakan langkah selanjutnya untuk menentang dakwah Rasulullah saw. Mereka mengutus Walid bin Mughirah dengan membawa Umarah bin Walid sebagai ganti untuk Rasulullah saw.

Umarah bin Walid adalah seorang pemuda gagah dan tampan, yang menjadi alat tukar untuk mendapatkan Rasulullah saw. Akan tetapi, utusan kaum Quraisy yang ingin menukar Umarah bin Walid dengan Rasulullah saw di tolak oleh Abu Thallib.

Karena gagal merayu Abu Thalib, kaum Quraisy langsung membujuk Rasulullah saw untuk menghentikan dakwahnya dengan iming-iming tahta, wanita, harta. Akan tetapi semua tawaran tersebut ditolak oleh Rasulullah saw, beliau mengatakan kepada mereka.

“Demi Allah, biar pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku. Aku tidak akan berhenti melakukan ini, sehingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”

Karena gagal dengan cara membujuk, kemudian para pemimpin Quraisy melakukan cara-cara intimidasi. Para pemimpin Quraisy melakukan tindakan kekerasan yang lebih intensif, dengan menyerukan menyiksa para anggota keluarga dari kelompok mereka yang masuk Islam, dan juga menyiksa para budak yang masuk Islam sampai mereka kembali keluar dari agama Islam (murtad).


Melihat perlakuan yang dilakukan oleh kaum Quraisy kepada umat Islam, Rasulullah saw mengatur strategi supaya bisa mengindarkan umat Islam dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy. Strategi yang dilakukan oleh Rasulullah saw untuk menghindarkan kaum muslim dari intimidasi kaum Quraisy Mekkah pada waktu itu adalah memerintahkan mereka untuk hijrah ke Habasyah (Ethiopia).

Tercatat dalam rombongan pertama hijrah, yaitu di tahun kelima kerasulannya. Ada sekitar 15 orang, yang terdiri dari 10 laki-laki 5 perempuan yang hijrah ke Habasyah dibawah komando Utsman bin Affan, termasuk Rukyah binti Muhammad yang merupakan istri Utsman bin Affan.

Kemudian pada rombongan kedua, ada sekitar 81 orang yang terdiri dari 80 laki-laki dan 1 perempuan. Perempuan tersebut adalah Ummu Habibah, yang merupakan putri Abu Sofyan.

Umat Islam diterima oleh raja Habasyah yang bernama Negus (Najasyi), yang merupakan seorang Kristen. Kaum muslimin diterima dengan baik oleh seorang raja, yang beragama Kristen.

Apa yang dilakukan oleh raja Habasyah adalah sebuah tauladan Ukhuwah Insaniyah, atau tali persaudaraan atas nama kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam, dan selalu diajarkan oleh Rasulullah saw kepada umatnya. Ketika ada sesama manusia yang mendapat perlakuan zalim. Maka perlu menolongnya, tanpa melihat latar belakang agama yang dipeluknya.

Raja Habasyah yang menerima dengan baik kaum muslimin yang hijrah ke negerinya diketahui oleh para pemimpin kaum Quraisy, sehingga mereka mengirim Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ untuk membujuk raja Negus (Najasyi) agar menolak kehadiran umat Islam di sana.

Akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh raja Negus. Walaupun kekejaman terhadap umat Islam meningkat, justru dua orang kuat dari kaum Quraisy malah masuk Islam, yaitu Hamzah dan Umar bin Khattab.

Rasulullah saw berhasil menyelamatkan umat Islam dari intimidasi dan kekerasa dari kaum Quraisy, dengan hijrah ke Habasyah. Akan tetapi, kaum Quraisy tidak menyerah untuk selalu berusaha menentang dakwah Rasulullah saw, yang semakin hari semakin diterima banyak kalangan.

Upaya kaum Quraisy untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw, setelah berbagai upaya yang dilakukan gagal adalah dengan memboikot seluruh keluarga Bani Hasyim. Mengapa?

Karena menurut mereka, kekuatan Nabi saw terletak pada keluarganya yang melindunginya, baik yang sudah masuk Islam maupun yang belum masuk Islam. Sehingga, mereka memutus semua hubungan yang berkaitan dengan Bani Hasyim.

Semua penduduk Mekkah dilarang untuk melakukan jual beli dengan Bani Hasyim. Akibatnya ada di antara dari keluarga mereka menderita kelaparan. Tindakan pemboikotan ini berlangsung sekitar tiga tahun, yaitu dari tahun 7 kenabian hingga tahun ke-10 menjelang wafatnya Abu Thalib dan Siti Khadijah.

Nabi Muhammad adalah teladan bagi para dai atau mubalig dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmmata lil alamin, dengan penuh kegigihan, rendah hati, dan kesabaran,

sumber alif.id

Tuesday, February 11, 2020

Agus Pewaris Ke 13 Pemegang Tongkat Syekh Abdurrauf As Singkili

 
Masa Konflik, Peti Tongkat Syekh Abdurrauf As Singkili Sempat Dicurigai Senjata Laras Panjang
Tongkat besi berulir Syekh Abdurrauf As Singkili ditaruk dalam kotak kaca di rumah Agus Cibro, di Desa Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin (10/2/2020).


Ada kisah unik dialami keluarga Agus Cibro (51), sebagai pemegang tongkat dan Alquran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili. Agus merupakan pewaris ke-13 pemegang tongkat dan Alquran tulisan tangan Kadhi Malikul Adil pada Kerajaan Aceh Darussalam semasa Ratu Syafiatuddin Syah tersebut.

Pada masa konflik berkecamuk di Aceh, aparat kemanan sempat mencurigai peti tongkat merupakan senjata laras panjang. Sedangkan peti Alquran merupakan pelurunya.

Memang sekilas peti tongkat panjang.  Bagi yang tak mengetahui isi dalamnya, bisa berprasangka lain, apalagi digembok, sehingga sulit dibuka.

Begitu juga dengan peti Alquran. Aparat yang mendatangi meminta membukannya, tentu saja dengan siaga penuh.

“Minta dibuka dikira senjata,” kata Agus Cibro, Senin (10/2/2020) sore, mengenang masa pahit getirnya konflik bersenjata di Aceh. Setelah dibuka barulah serdadu bersenjata lengkap mempercayainnya.

Bahkan sang komandan bersama anak buahnya membantu merapikan Alquran yang mulai terlepas dari rajutan itu.

Tongkat besi berulir dan Alquran tulisan tangan Syekh Abdurruf itu, disimpan di rumah Agus Cibro di Desa Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil.

 Quran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Foto direkam, Senin (10/2/2020)

 
Quran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Foto direkam, Senin (10/2/2020)   (SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI)
Ulama masyhur

Seperti diberitakan Serambinews.com sebelumnya, Syekh Abdurrauf As Singkili, dikenal sebagai ulama masyhur dengan keilmuan agama Islam yang luas.

Ia adalah penulis tafsir Quran pertama berbahasa melayu dan ahli tasawuf.  Sederet karyanya menjadi bahan rujukan.

Ulama masyhur tersebut merupakan kelahiran Aceh Singkil. Inilah yang menjadi landasan Kabupaten itu, acap disebut sebagai tanah batuah.

Apa saja jejak Syekh Abdurrauf di Aceh Singkil? Berikut penelusuran Serambinews.com, Senin (10/2/2020).

Rumah kayu sederhana di Desa Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, milik Agus Cibro (51).  Rumah ini menjadi tempat penyimpanan warisan Syekh Abdurrauf As Singkili.

Benda pusaka peninggalan Mufti (Penasihat Agung) Kerajaan Aceh masa Sultanah Syafiatuddin Tajul Alam tersebut, tongkat besi ulir dan Quran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili 

Sudah empat tahun peninggalan Syekh Abdurrauf Bin Ali Al-Fansuri, tersimpan di rumah dekat jembatan Silatong tersebut.

“Sama aku sejak 2016 bulan satu (Januari),” kata Agus didampingi sang istri Darmawati br Barus, Senin (10/2/2020) sore. Tongkat besi dibungkus kain putih itu diletakan dalam kotak kaca.

Tidak cukup hanya itu, kotak kaca berisi tongkat ditaruh dalam peti kayu memanjang, kemudian digembok.

Perlakuan itu, demi menjaga agar tak mudah rusak termakan zaman. Tongkat besi berwana hitam itu panjangnya semeter lebih. Hal ini menunjukkan pemiliknya memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Agus yang mencoba mempraktikkan memegang tongkat, tak bisa memegang bagian pegangan.

Oleh karena itu, tongkat harus dijulurkan ke depan.

“Memang cara pegangnya seperti itu,” ujar Agus. Bagian tongkat terbagi tiga bentuk.

Gagang berbentuk bulat lebih besar dari jempol dewasa, batangnya berupa besi ulir dan bagin ujung runcing. Secara keseluruhan bentuk tongkat dari atas ke bawah makin mengecil seperti bentuk lidi.

Ketika coba memegang, tongkat seperti besi umumnya, terasa berat dibanding benda lain dengan ukuran serupa. Walau sudah berusia empat abad lebih, tongkat besi tidak berkarat.

Malah terlihat mengilat. Perlakuan serupa juga dilakukan untuk Alquran yang ditulis tangan Syekh Abdurrauf As Singkili. 

Alquran ini dibungkus kain putih dalam kotak kaca. Selanjutnya kotak kaca diletakan dalam peti kayu yang dibungkus kain sarung.

Pembedanya peti kayu penyimpanan Alquran ini berbentuk persegi empat. Kalimat dalam Alquran itu masih terlihat jelas, kendati ayatnya yang dilingkar mulai pudar.

Pada pinggir tulisan dibuat garis warna hitam dan merah. Setelah dibuka beberapa bagian surat telah hilang. Begitu juga dengan lembaran Alquran, ada yang mulai termakan usia.

Alquran tidak lagi berjilid. Namun sebagai penggantinya dipasang jilid dari plastik transparan warna biru dengan perekat.

Harus bawa kain putih

Sore itu Serambinews.com yang datang bersama anak muda penyuka sejarah, Aini, Andri dan Agus boleh jadi paling beruntung.

Setelah wudhuk, tuan rumah membebaskan kami membuka peti, memegang tongkat dan membaca Aquran tulisan tangan sang aulia itu.

Kendati kami tidak bawa kain putih sebagai syarat. Bagi yang ingin melihat dan memegangnya bisanya membawa kain putih.

Kain itu merupakan pengganti bungkus kain putih yang telah dipegang tangan. Kebiasaan mengganti kain pembungkus setelah dipegang tersebut, dilakukan agar kain pembungkus tetap bersih sehingga tidak mempengaruhi tongkat besi.

“Biasanya bawa kain putih, tapi untuk kalian tidak apa-apa, nanti aku yang ganti masih ada banyak kain putih,” ujar Agus sambil senyum. 

Tongkat besi berulir peninggalan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin (10/2/2020)
Tongkat besi berulir peninggalan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin (10/2/2020)
Tongkat besi berulir peninggalan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin (10/2/2020) (SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI)


Generasi ke-13

 Agus Cibro merupakan generasi ke-13 sebagai pemegang tongkat dan Alquran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili.

Sebelumnya dipegang almarhum ayahnya Lambung. Meski ia anak kedua dari tiga lelaki bersaudara, namun tetap Agus yang dipercaya memegang dua benda pusaka itu.

“Berdasarkan hasil rapat keluarga, tongkat dan Alquran disimpan di tempat aku,” kata Agus, Senin (10/2/2020) sore.

Pria 51 tahun ini, tidak mengetahui nama lengkap silsilah pemegang tongkat dan Alquran sebelumnya. Ia hanya hafal namanya sampai ke sang kakek yang bernama Wasir.

“Aku tidak hafal. Sama aku ini merupakan generasi ke-13,” jelasnya. Mengenai pengetahuan tongkat dan Alquran merupakan peninggalan Syekh Abdurrauf, didapat dari cerita turun temurun orang tuannya.Bagi Agus menjaga peninggalan dua benda itu jauh lebih penting.

“Saya sampaikan sama istri biarlah perut kosong asal terjaga warisan ulama ini,” kata Agus. Menurutnya yang ingin melihat tongkat dan Alquran sudah sering datang.

Mereka berasal dari berbagai kalangan dalam daerah dan luar daerah. Bagi yang ingin melihat Agus mempersilahkan datang ke rumahnya setiap hari Senin dan Jumat.

sumber aceh.tribunnews.com

Masih Ada Tongkat Besi & Quran, Menelusuri Jejak Syekh Abdurrauf As Singkili di Tanah Kelahirannya.

 
Hasil gambar untuk Syekh Abdurrauf As Singkili,
liputanaceh

Syekh Abdurrauf As Singkili, dikenal sebagai ulama masyhur dengan keilmuan agama Islam yang luas. Ia adalah penulis tafsir Quran pertama berbahasa melayu, ahli tasawuf.  Sederet karyanya menjadi bahan rujukan.

Ulama masyhur tersebut merupakan kelahiran Aceh Singkil. Inilah yang menjadi landasan Kabupaten itu, acap disebut sebagai tanah batuah. Apa saja jejak Syekh Abdurrauf di Aceh Singkil? Berikut penelusuran Serambinews.com, Senin (10/2/2020).

Agus Cibro (51), generasi ke-13 pewaris tongkat dan Alquran tulisan tangan Syekh Abdurruf As Singkili
Tongkat besi berulir peninggalan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus Cibro di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin (10/2/2020)(SERAMBINEWS.COM/DEDE ROSADI)
Rumah kayu sederhana di Desa Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, milik Agus Cibro (51). 

Rumah ini menjadi tempat penyimpanan warisan Syekh Abdurrauf As Singkili. Benda pusaka peninggalan Mufti (Penasihat Agung) Kerajaan Aceh masa Sultanah Syafiatuddin Tajul Alam tersebut, tongkat besi ulir dan Quran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili 

Sudah empat tahun peninggalan Syekh Abdurrauf Bin Ali Al-Fansuri, tersimpan di rumah dekat jembatan Silatong tersebut.

“Sama aku sejak 2016 bulan satu (Januari),” kata Agus didampingi sang istri Darmawati br Barus, Senin (10/2/2020) sore.

Tongkat besi dibungkus kain putih itu diletakan dalam kotak kaca.

Tidak cukup hanya itu, kotak kaca berisi tongkat ditaruh dalam peti kayu memanjang, kemudian digembok. Perlakuan itu, demi menjaga agar tak mudah rusak termakan zaman.

Tongkat besi berwana hitam itu panjangnya semeter lebih. Hal ini menunjukkan pemiliknya memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Agus yang mencoba mempraktikkan memegang tongkat, tak bisa memegang bagian pegangan. Oleh karena itu, tongkat harus dijulurkan ke depan.

“Memang cara pegangnya seperti itu,” ujar Agus.

Bagian tongkat terbagi tiga bentuk. Gagang berbentuk bulat lebih besar dari jempol dewasa, batangnya berupa besi ulir dan bagin ujung runcing. Secara keseluruhan bentuk tongkat dari atas ke bawah makin mengecil seperti bentuk lidi.

Ketika coba memegang, tongkat seperti besi umumnya, terasa berat dibanding benda lain dengan ukuran serupa.

Walau sudah berusia empat abad lebih, tongkat besi tidak berkarat. Malah terlihat mengilat. Perlakuan serupa juga dilakukan untuk Alquran yang ditulis tangan Syekh Abdurrauf As Singkili. 

Alquran ini dibungkus kain putih dalam kotak kaca. Selanjutnya kotak kaca diletakan dalam peti kayu yang dibungkus kain sarung.

Pembedanya peti kayu penyimpanan Alquran ini berbentuk persegi empat.

Kalimat dalam Alquran itu masih terlihat jelas, kendati ayatnya yang dilingkar mulai pudar. Pada pinggir tulisan dibuat garis warna hitam dan merah.

Setelah dibuka beberapa bagian surat telah hilang.

Begitu juga dengan lembaran Alquran, ada yang mulai termakan usia. Alquran tidak lagi berjilid.

Namun sebagai penggantinya dipasang jilid dari plastik transparan warna biru dengan perekat.

Harus bawa kain putih

Sore itu Serambinews.com yang datang bersama anak muda penyuka sejarah, Aini, Andri dan Agus boleh jadi paling beruntung.

Setelah wudhuk, tuan rumah membebaskan kami membuka peti, memegang tongkat dan membaca Aquran tulisan tangan sang aulia itu.

Kendati kami tidak bawa kain putih sebagai syarat. Bagi yang ingin melihat dan memegangnya bisanya membawa kain putih.

Kain itu merupakan pengganti bungkus kain putih yang telah dipegang tangan. Kebiasaan mengganti kain pembungkus setelah dipegang tersebut, dilakukan agar kain pembungkus tetap bersih sehingga tidak mempengaruhi tongkat besi.

“Biasanya bawa kain putih, tapi untuk kalian tidak apa-apa, nanti aku yang ganti masih ada banyak kain putih,” ujar Agus sambil senyum. 

Generasi ke-13

Seperti diberitakan Serambinews.com sebelumnya, Agus Cibro merupakan generasi ke-13 sebagai pemegang tongkat dan Alquran tulisan tangan Syekh Abdurrauf As Singkili.

Sebelumnya dipegang almarhum ayahnya Lambung. Meski ia anak kedua dari tiga lelaki bersaudara, namun tetap Agus yang dipercaya memegang dua benda pusaka itu.

“Berdasarkan hasil rapat keluarga, tongkat dan Alquran disimpan di tempat aku,” kata Agus, Senin (10/2/2020) sore.

Pria 51 tahun ini, tidak mengetahui nama lengkap silsilah pemegang tongkat dan Alquran sebelumnya.

Ia hanya hafal namanya sampai ke sang kakek yang bernama Wasir.

“Aku tidak hafal. Sama aku ini merupakan generasi ke-13,” jelasnya.

Mengenai pengetahuan tongkat dan Alquran merupakan peninggalan Syekh Abdurrauf, didapat dari cerita turun temurun orang tuannya. Bagi Agus menjaga peninggalan dua benda itu jauh lebih penting.

“Saya sampaikan sama istri biarlah perut kosong asal terjaga warisan ulama ini,” kata Agus.

Menurutnya yang ingin melihat tongkat dan Alquran sudah sering datang. Mereka berasal dari berbagai kalangan dalam daerah dan luar daerah. Bagi yang ingin melihat Agus mempersilahkan datang ke rumahnya setiap hari Senin dan Jumat.

sumber aceh.tribunnews.com

Tuesday, January 21, 2020

Pulau Banyak Aceh Singkil, Aceh

 
Hasil gambar untuk pulau banyak
serambiindonesia

Pulau Banyak, Aceh, Indonesia adalah Gugusan Pulau-pulau kecil di Kabupaten Aceh Singkil provinsi Aceh. luas wilayah secara keseluruhan adalah 27,196 ha. Pulau Banyak yang terdiri dari gugusan pulau- pulau berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, tepatnya di ujung sebelah barat Pulau Sumatra.

ada 99 buah pulau di gugus Kepulauan Banyak yang sangat layak dikembangkan menjadi objek wisata andalan. Termasuk keindahan alam bawah laut dan penyu hijaunya.

Sebagai daerah kepulauan, Pulau Banyak selain memiliki laut yang cukup luas juga pantai yang sangat panjang dan indah, pantai Pulau Banyak tidak kalah dengan Pantai-pantai lain di indonesia. Pasir putihnya lebih lembut, lambaian daun- daun kelapa yang rindang semakin memperindah suasana tamasya dengan pemandangan alam pantai tropis. Indahnya panorama Sunset juga menjadi tontonan tersendiri yang mengasyikkan.

Kepulauan Banyak dapat dicapai melalui Desa Pulo Saruk Aceh singkil dengan ferry selama 4 jam. Dari Kota Medan, anda bisa menumpang mobil travel dengan harga Rp. 110.000 yang akan membawa anda ke Desa Pulo Saruk menggunakan perjalanan darat selama 8 jam. Atau jika anda mau, ada penerbangan Medan-Singkil menggunakan pesawat berukuran kecil setiap hari Rabu dengan harga Rp. 140.000.

Rute Hari Harga
Medan – Singkil 10.00 Rp. 160.000
Singkil – Banda Aceh 11.00 Rp. 260.000
Banda Aceh – Singkil 13.00 Rp. 260.000
Singkil – Medan 15.00 Rp. 160.000
Check in 1 Jam Sebelum Keberangkatan. Maximum Bawaan yang Di Perbolehkan: 10 kg. Kelebihan Barang Akan Di Hitung app. Rp. 3.000/kg. Transportasi di Singkil dari dan Menuju airport Menggunakan minibuses: Rp. 20.000,-.

Fasilitas wisata

Surfing Terdapat 12 titik ombak untuk selancar yang cukup panjang dan mencapai ketinggian 6 meter yang tersebar di pulau Bangkaru, ujung Silingar dan bagian selatan Pulau Tuangku. Titik selancar yang paling banyak dikunjungi oleh peselancar adalah pantai Amandangan dan pantai Pelanggaran di pulau Bangkaru.

Ombak Pulau Banyak yang menggoda peselancar pertama sekali ditemukan oleh Marcus Keeshan pada tahun 2001. Yang kemudian dia mempublikasikan kehebatan ombak Bangkaru sebagai tempat surfing terbaik di dunia. Menurutnya ombak di kawasan ini sangat ideal bagi peselancar kelas dunia karena tingginya mencapai 6 meter. Begitu pula lokasinya. Airnya dingin, ikan hiu jarang terdapat, tempat berselancar berada satu sampai dua meter diatas karang dan musim selancar relatif panjang.


Selam permukaan (snorkeling) Menikmati keindahan keanekaragaman hayati terumbu karang dilakukan dengan dua cara. Pertama, pada bagian perairan dangkal dengan menggunakan perahu yang lantainya atau bagian dinding bawah perahu itu terdiri atas gelas kaca tembus pandang. Dengan demikian penumpang perahu dapat melihat apa- apa yang ada dibawah perahu.

Kedua, dengan menggunakan perlengkapan menyelam khususnya untuk tempat- tempat yang dalam yang tidak mungkin dapat dilihat dengan perahu yang lantainya tembus pandang yaitu peralatan Scuba Diving.

Laut Pulau Banyak menyajikan pemandangan alam. Keunikan laut berupa terumbu karang dengan flora dan fauna laut yang khas yaitu tumbuhan laut dan ikan- ikan karang yang beraneka ragam warna dan berbagai ukuran. Beberapa areal pariwisata di daerah ini adalah Pantai Pulau Tailana, Rago- rago, Matahari, Pabisi dan Sikandang. Kebanyakan di daerah ini merupakan tempat yang indah dengan pantai yang berkarang dan airnya yang jernih, sehingga karang- karang yang berada pada kedalaman lebih dari 3 meter terlihat jelas dari atas perahu.

Wisata Penjelajahan (Adventure) Penjelajahan dapat dilakukan di pulau Tuangku. Penjelajahan ini berupa Treking yaitu berjalan kaki menyelusuri hamparan hutan sambil menikmati keindahannya. Perjalanan dapat dimulai dari Kampong Haloban dan disepanjang perjalanan wisatawan dapat melihat Kancil, Beo Nias, Tupai, Babi Hutan dan Kupu- kupu beraneka warna. Juga terdapat Goa Kelelawar dan Goa Sarang Burung Walet.

Hutan Pulau Tuangku sangat menarik dan masih tergolong utuh. Buaya Muara (Crocodylus Porosus) terkadang muncul di perairan sungai di pedalaman hutan Pulau Tuangku, ukurannya yang sangat besar jarang dijumpai di tempat lain.

Penyu
1.Penyu Hijau
2.Penyu Belimbing
3.Penyu Sisik

Daftar Desa/Kelurahan

Pulau Baguk
Pulau Balai
Teluk Nibung

Akses transportasi

Kota terdekat menuju Singkil adalah Medan. Dari Medan menuju Singkil perjalanan bisa menggunakan angkutan umum kijang ongkos Rp 110.000. Berangkatlah dari Medan menuju Singkil di malam hari dan tiba di Singkil pagi hari sehingga bisa menghemat biaya penginapan.

Dari Singkil menuju Pulau Banyak tersedia kapal traditional di Pelabuhan Jembatan Tinggi berangkat setiap hari pukul 10.00 WIB dengan biaya Rp 25.000. Feri juga melayani rute Singkil - Pulau Banyak setiap hari Senin 09.00 WIB tiket feri Rp 16.000. Untuk berkeliling di Pulau Banyak seharian, bisa menyewa perahu nelayan Rp 300.000

Pulau Banyak hanya dapat dicapai melalui perjalanan laut dengan sarana angkutan berupa boat (Kapal Motor). Pulau Banyak dapat dicapai dari:

   Singkil (3 – 4 jam)
   Sibolga (9 – 12 jam)
   Nias (6 – 8 jam)
   Teluk Jamin (6 – 8 jam)

Akses paling mudah menuju Pulau Banyak adalah dari Kota Singkil ibu kota Aceh Singkil. Transportasi menuju Pulau Banyak dilayari oleh boat reguler setiap hari Senin, Kamis dan Jum’at. Selain itu calon penumpang juga dapat menyewa/rental kapal atau speed boat.

Untuk Menuju Dan Menikmati Keindahan Gugusan Pulau Banyak,Sebaiknya Anda Berangkat Maret hingga Agustus adalah saat terbaik untuk mengunjungi Pulau Banyak. Pada bulan ini cuaca cerah dan laut tenang dan waktu terbaik untuk island hoping, kayaking dan snorkling.


Sumber wikipedia

Thursday, December 20, 2018

Melihat Situs-Situs Sejarah Singkil

 


Butuh waktu hampir sejam menelusuri sungai besar Singkel menggunakan sampan robin untuk sampai tiba ke kawasan situs bersejarah-Singkil Lama. Sungai Singkil yang berukuran besar ini, terhubung hingga sampai ke Aceh Tenggara, karena itu dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama sungai Lae Alas.

Saya bersama dua warga lokal, menempuh perjalanan tersebut untuk tiba ke kawasan Singkil Lama, warga lokal menyebut dengan kawasan Berok. Setelah melewati sungai besar, sampan bergerak ke arah kanan, melewati anak sungai berukuruan empat hingga lima meter lebarnya. Kiri dan kanan mulai dipenuhi pohon lontar (Aceh : nipah). Tak hanya nipah, sekali-kali tampak beberapa ekor anak buaya yang dikenal hewan predator berjemur di pinggir sungai ini. Menurut informasi tekong sampan ini, induknya kadang tampak berukuran hampir enam meter panjangnya.

Sampan kami terus menderu melaju ke arah tujuan Singkil Lama. Singkil Lama adalah kawasan pemukiman yang diyakini sebagai kawasan awal dari Kota Singkil, dan telah ada sejak abad ke-12 M seterusnya berkembang pesat pada masa kolonial Belanda abad ke-17 M, lalu tenggelam akibat bencana alam hingga Kota Singkil harus dipindahkan ke lokasi sekarang. Karena itu, Belanda menyebut Kota Singkil sekarang dengan istilah Neuew Singkel (Singkil baru).

Tidak lama setelah melewati anak sungai, sampan robin kini memasuki lorong sungai yang lebih sempit berukuran dua meter, menyerupai gua karena ditutupi oleh rimba nipah. Dengungan dan serbuan nyamuk mulai terasa. Mesin robin sudah tak bisa dihidupkan akibat dangkalnya aliran ini, aroma pekat lumpur payau menyengat. Perlahan tekong mendayung dan sekali-kali bergelayut ke setiap cabang pelepah nipah menarik sampannya untuk sampai ke tujuan yang berjarak hampir 1 KM sejak mesin dimatikan.

Tiba di tujuan, dengan dikelilingi nipah dan daratan lumpur payau hitam pekat yang menghampar menuju ke semak-semak daratan, kami harus turun. Baru saja saya mencemplungkan kaki, langsung ditelan lumpur hingga selutut. Saya mengikuti saja perjalanan kaki yang harus bertarung dengan lumpur payau, sekali-kali harus menaiki batang kayu mati yang terendam lumpur sesuai arahan tekong sampan. Baru kemudian, setelah mendapatkan daratan tanah yang agak keras, kaki mulai mudah dan lempang berjalan. Tak jauh dari sini, sebuah sumur yang baru digali oleh masyarakat tampak di hadapan kami, saya lihat tekong sampan buru-buru membersihkan dirinya dari kotoran lumpur yang mengotor celananya hingga lutut.

Saya mengikuti saja perilakunya. Serbuan nyamuk belum berhenti, dengungan hewat kecil namun amat mengganggu kenyamanan telinga ini, terus mengikuti kami hingga tiba di sebuah makam lama. Makam itu telah ditutupi kelambu, saya lihat tekong duduk bersila di sisi makam lalu berdoa. Saya coba melihat lebih detail kondisi makam, tampak dua nisan besar bertuliskan aksara kaligrafi Arab, segera saya ambil gambar dengan kamera ponsel. Di luar makam, ada beberapa nisan lagi yang berukir nisan lama mengelilingi saung pemakaman ini. Lokasi makam ini, disebut oleh tekong masih dalam kawasan Singkil lama. Situs seperti ini banyak menurutnya, terutama di kawasan sepanjang aliran sungai, mengingat dulunya peradaban Singkil yang berdekatan dengan Barus adalah peradaban sungai dan laut.

Setelah saya amati, tulisan kaligrafi di makam bertuliskan “…almarhum Abdurrahib (Rajab) bin Abdullah, berpulang pada 3 Zulqaidah 1313 H.” (16 April 1896 M). Besar dugaan, pemiliki makam adalah penganut tarekat Syattariah dan seorang guru agama Islam di sana. Ada banyak makam seperti ini di Singkil. Namun, minim pengkajian dan pemugaran. Akibatnya, beberapa situs sejarah Singkil yang amat penting untuk masa depan pengetahuan sejarah Islam Nusantara justru tak mendapat perhatian. Padahal, kawasan ini memainkan peranan penting dalam pentas sejarah Islam Nusantara. Bahkan, dua tokoh besar Islam Nusantara (Hamzah Fansuri dan Abdurrauf as Singkili) berasal dari sini. Kondisi berbeda dengan Barus, sebagai kawasan yang berdampingan dengan Singkil justru penyelamatan makam dilakukan oleh masyarakat.

Komitmen membangun wisata sejarah Singkil tidak hanya makam-makam bercorak Islam, peninggalan Belanda yang masih dengan mudah dan banyak ditemukan di Singkil justru terbengkalai tanpa perhatian dan pemugaran bahkan mendapat klaim sebagai situs cagar budaya. Kuburan Belanda di Singkil misalnya yang kondisinya amat memprihatinkan kini terancam rusak di kawasan Pulo Sarok. Situs sumur bor era Belanda yang terus mengalir juga tak mendapat perhatian pemugaran sebagai cagar budaya dan beberapa situs lainnya. Artinya, perhatian pemerintah setempat terhadap situs sejarah dan budaya masih sangat lemah. Padahal, jika situs ini dipugar dan dilakukan konservasi serta pemugaran, akan dapat menjadi objek wisata sejarah tersendiri di Singkil, yang akan membantu pengembangan Singkil ke depan sebagai tujuan wisata. Butuh kerja ekstra untuk mengembalikan sisa peradaban Singkil, terutama kerja menyadarkan masyarakat betapa situs sejarah itu penting sebagai identitas dan peluang menjadi kota peduli wisata sejarah.

Wisata sejarah Singkil adalah peluang besar kabupaten ini memproklamirkan diri kota peduli sejarah dan budaya, karena memang memiliki modal yang cukup. Kerja-kerja pemetaan dan penggalian situs untuk tahap menjadi cagar budaya harus ditempuh oleh pemerintah setempat. Saya membayangkan, satu dekade ke depan, jika seperempat energi disuplai ke industri sejarah budaya, Singkil akan menjadi kota penting di perbatasan Aceh, terutama tujuan pengkajian studi sejarah Islam, studi sejarah kolonial, dan kunjungan pelancong lokal melihat lebih dalam kota yang pernah maju peradaban Islam dan pengaruh kolonial ini. Paling tidak, alasan pelancong ke Singkil dua, berwisata bahari Pulau Banyak, dan mengunjungi museum dan jejak Islam Nusantara di sana.

sumber jeumpanews.com

Sunday, October 14, 2018

Bahasa Singkil (Mago) Hampir Punah

 
Bahasa Singkil Terancam Punah “Mago”

Jaminuddin Djalal, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Fakultas Hukum dan Syariah ketua Komunitas Ogek Uti Membangun Singkil

Seperti yang kita ketahui bersama, bahasamerupakan suatu keahlian yang apabila bahasa tersebut sering digunakan oleh penuturnya dalam hal apapun, seperti misalnya berbicara, menulis, dan lain sebagainya, maka sudah pasti seseorang itu akan lebih mahir menggunakannya, sebab dalam kesehariannya sudah menjadi kebiasaan tertentu.

Akan tetapi jika bahasa tersebut sangat jarang digunakan atau dituturkan, sudah pasti akan menjadi mala petaka yang amat dahsyat, satu per satu kosa kata dari penggalan bahasa tersebut akan hilang. Lebih lanjut dalam bahasa Singkil disebut Mago.

Hal tersebut jugalah yang penulis lihat selama ini, khusunya pengguna bahasa Singkil yang sudah terlihat masif. Penulis melihat fenomena ini telah menjalar di tanoh Singkil. Hal ini dibuktikan dengan kosa kata-kosa kata bahasa Singkil yang jarang dan bahkan tidak pernah kita dengar lagi dan bahkan lebih parah lagi, yaitu kosa kata diganti dengan bahasa Indonesia.

Mago tuhu “benar-benar punah”. Padahal bahasa menunjukkan suatu identitas, dan ianya amat sangat penting untuk terus dijaga dan dilestarikan. Ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya bahasa Singkil menurut penulis sendiri, yang jika hal ini terus-terusan dibiarkan maka bahasa Singkil akan benar-benar mago.

Namun jika hal ini kita cermati, pelajari, serta kita cegah secara bersama, penulis sangat yakin bahasa Singkil akan tetap eksis seiring perkembangan zaman. Berikut ini 4 hal yang menyebabkan bahasa Singkil akan mago “punah”:

1. Banyaknya orang Singkil (Singkil-Subulussalam) yang lebih memilih berbahasa Indonesia ketimbang bahasa Singkil dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemko Subulussalam tidak memuat bahasa Singkil kedalam kurikulum pendidikan sekolah-sekolah (SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA).
3. Orang Singkil (Singkil-Subulussalam) malu berbahasa Singkil serta sikap acuh terhadap bahasa sendiri. Oda anak pekhana bak anak menguda sambing, tapi bak pekhtua “Bukan anak muda dan mudi saja, tetapi juga orangtua”.
4. Anak-anak masyarakat Singkil dan Kota Subulussalam tidak diajarkan lagi bahasa Singkil oleh orang tua mereka. Penulis melihat fenomena ini biasanya berlaku bagi generasi 80an keatas. Hal inilah menurut penulis yang sekarang terjadi dalam kehidupan masyarakat Singkil dan Subulussalam yang mayoritas menggunakan bahasa Singkil.

Sikap acuh orang Singkil dalam menggunakan bahasa Singkil ini dikhawatirkan hilangnya bahasa Singkil itu sendiri di permukaan bumi ini. Sangat berbeda dengan orang Singkil yang membentuk komunitas di daerah Aceh Tenggara. Meski mereka sebagai minoritas disana, akan tetapi bahasa Ibu mereka tetap terpelihara, yakni dengan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan orang Singkil yang ada di pedalaman Aceh Utara tetap kental dalam berbahasa Singkil.

Orang Singkil khususnya para remaja yang menyebut dirinya “the next ogek-uti” (sebutan abang dan kakak) saat ini kerap menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Singkil itu sendiri, padahal mereka sama-sama mengerti bahasa Singkil, orang tua mereka pun berasal dari Singkil dan menggunakan bahasa Singkil. Gaul du “gaul ya”.

Penulis menemukan begitu banyak kosa-kata dalam bahasa Singkil yang telah berubah, hal ini pula telah penulis diskusikan dengan beberapa orang tua, abang, serta sahabat yang peka terhadap perubahan kosa-kata ini. Diantaranya yang berubah adalah: mbihin berubah menjadi dapukh/dapur, betik menjadi semangka, kekhbit menjadi mancis, kemesengen menjadi kebakhakhen/ kebakaran dan banyak lagi lainnya.

Seiring berjalannya waktu, penulis melihat minat orang Singkil (Singkil-Subulussalam) dalam menggunakan bahasa Singkil ini semakin berkurang dan terus berkurang. Perhatian untuk memelihara bahasa Singkil pun juga sudah sangat berkurang.Bahkan ketika ada orang yang berbicara bahasa Singkil dengan logat asli malah menjadi bahan candaan dan ditertawakan. Ai be “entahlah”. Alhasil banyak yang malu untuk memperlihatkan ke singkilannya.

Sehingga timbul lah Singkil jadi-jadian, yaitu orang yang dapat berbahasa Singkil, tapi logatnya telah diubah menjadi logat bahasa lain seperti bahasa Indonesia, sedikit agak kealay-alayan, “siapa loe”, dll. Fenomena ini akan kita temukan apabila ada orang Singkil yang lama merantau ke luar daerah, setelah pulang kampung logat berbicaranya akan berubah. Gaul su “gaul sekali”.

Hal ini juga akan terlihat pada masyarakat di perkotaan, bahkan sekarang lebih banyakmenggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Singkil. Orang tua pun tidak lagimengajarkan bahasa Singkil ini kepada anak-anak mereka sehingga anak-anak mereka akan sangat merasa asing dengan bahasa Singkil.

Apa jadinya bahasa Singkil ini ke depan, jika demikian? Lama-kelamaan bahasa Singkil hanya tinggal nama dan tidak ada yang tahu bagaimana bahasa Singkil itu sebenarnya. Tidak ada lagi Mike ko “kemana kamu”, kade “apa”, kune “kenapa”, senda “sini”, sendi “sana” yang ada hanyalah Mago “punah”.

Sebagai orang Singkil, seharusnya kita berbangga hati terhadap bahasa yang kita miliki, sebab bahasa Singkil adalah bahasa yang begitu unik. Keunikannya, meski pendatang berbahasa Singkil, kita akan dapat membedakannya dengan baik dan benar, apakah dia memang pendatang atau benar-benar orang Singkil. Indonesia memiliki keberagaman Bahasa dan budaya, dan kita mempunyai bahasa dan budaya dengan ciri khas tersendiri yang harus kita jaga.

Dan keberagaman inilah yang membuat kita terlihat semakin unik. Dalam tulisan ini, penulis hanya menyinggungmengenai bahasa Singkil, tanpa enyampingkan bahasa-bahasa lain yang ada di Aceh. Seperti bahasa Aceh sendiri, bahasa Alas, Gayo,Kluat, Devayan, Jamee dan lain sebagainya. Penulis juga menyarankan agar jangan sampai bahasa-bahasa tersebut di atas jangan sampai terancam punah. Sudah sepantasnya pemilik bahasa bertanggungjawab dalam melestarikannya.

Misalnya dalam berbahasa sehari-hari atau melekatkan bahasa tersebut kedalam ornamen-ornamen perkantoran dan lain sebagainya. Sehingga dengan demikian dapat menumbuhkan rasa kecintaan terhadap bahasa itu sendiri. Penulis sangat berharap, semoga pemilik bahasa yang ada di Aceh khususnya, agar dapat menyadari betapa pentingnya menjaga bahasa daerah itu sendiri, karena dengan bahasalah kita mengetahui identitas suatu bangsa. Dengan bahasa pulalah kita dapat menjalin keakraban antar sesama.



sumber aceh.tribunnews.com/2018/10/14

Monday, January 22, 2018

Mengenal Suku Singkil & Bahasa Singkil Part-III

 
Hasil gambar untuk tari dampeng

Tari Dampeng Suku Singkil

Oleh karena hal itu maka seolah-olah bahasa Singkil dirasa ”lebih rendah" atau "lebih kolot" dari bahasa “malayu randah" sehingga dalam lingkungan masyarakat. Keluarga dan anak-anaknya selalu berbahasa "melayu randah". Meskipun ibunya orang Singkil ataupun bapaknya yang orang Singkil. Malah sebahagian orang Singkil merasa "malu" menggunakan bahasa Singkil.

Yang lebih memprihatinkan lagi orang Singkil sendiri: termasuk para elitnya (politik dls) menyebut bahasa Singkil dengan “bahasa kampong” dan malah bahasa “melayu randah" mereka sebut sebagai bahasa Singkil.

Yang lebih celaka lagi ialah dalam buku “INFORMASI SINGKAT KABUPATEN ACEH SINGKIL" yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil Dinas Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga pada Tahun 2002 pada halaman 2, sama sekali tidak disebutkan etnis Singkil. Tapi etnis "ulu singkil" sesuai dengan "istilah Belanda" guna kepentingan devide et emperanya: malah kesenian yang ditonjolkan ialah Tor-tor dan Situmba sedangkan kesenian orang Singkil sama sekali tidak disebutkan pada halaman 2 tersebut. Dan last but not least orkes gambus Lae Souraya yang terkenal di Aceh yang ada di Runding tidak masuk dalam daftar kesenian di akhir buku.

Padahal orkes tersebut pernah keliling Aceh dalam rangka kampanye Golkar. bermain pada PKA IV di Banda Aceh serta pernah mendapat bantuan dari pemda Aceh Singkil melalui Kepala Dinas Kebudayaan. Pemuda dan Olahraga Kabupaten Aceh Singkil yang menanda tangani buku tersebut ialah Drs. H. Abdul Gani Berutu. Kita tidak tahu apakah hal ini dimonitor oleh kalangan DPRD Aceh Singkil atau tidak. Wallahu a'lam bisshawab.

Tetapi yang jelas usaha Belanda ternyata memang benar-benar mangkus dan sangkil (efektif dan efisien) yang hampir permanen.

Apabila kita menelusuri sungai Singkil dari muaranya arah ke hulu maka sesampainya kita di kampong Pemuka kita menjumpai persimpangan sungai yang bercabang dua. Yang ke kanan itulah yan disebut Cinendang dan yang ke kiri disebut Souraya; yang dahulu dikenal dengan Kecamatan Simpang Kanan dan Kec. Simpang Kiri. Cinendang berpusat di Lipat Kajang dan Souraya berpusat di Pasar Rundeng. Pada jaman dahulu dalam wilayah Singkil hanya ada dua pasar yaitu Pasar Rundeng dan Pasar Singkil.

Belakangan oleh Belanda dibuat Rimo untuk kepentingan maskapai mereka yang ternyata sekarang lebih besar dan maju daripada Lipat Kajang.

sumber steemit.com